Pagi 3 Juli 2025, langit sore di Pati masih cerah ketika para guru Abayasa Islamic School dan pengurus Yayasan Hasan Tirto Saleh berkumpul. Mereka tidak sedang menuju seminar atau pelatihan—tapi dalam perjalanan menziarahi jejak para ulama besar, untuk menyegarkan kembali jiwa pengabdian sebagai pendidik.
1. KH Bisri Mustofa – Rembang
Perhentian pertama adalah Rembang, di pusara KH Bisri Mustofa, ulama penulis Tafsir al-Ibriz. Di antara doa dan tahlil, para guru merenungkan bagaimana beliau mengajarkan tafsir Al-Qur’an dengan bahasa rakyat — menjembatani teks suci dengan hati umat. Seorang guru mencatat: "Kita pun harus mengajar dengan bahasa yang dipahami anak-anak kita, bukan hanya bahasa buku."
2. Sayyid As-Syekh Ibrahim As-Samarqandy – Sampang
Rombongan melanjutkan perjalanan menyeberangi laut ke Sampang, Madura, menuju makam Sayyid As-Syekh Ibrahim Zainuddin As-Samarqandy. Ulama asal Samarkand ini menjadi pelopor dakwah Islam dengan pendekatan kelembutan dan hikmah. Dalam suasana hening, para guru merenungkan: "Hijrah beliau bukan sekadar berpindah tempat, tapi berpindah demi maslahat umat."
3. Syaikhona Kholil – Bangkalan
Ziarah selanjutnya menuju Bangkalan, ke makam Syaikhona Kholil, guru dari KH Hasyim Asy’ari. Di sana, para guru mengadakan refleksi singkat: "Jika seorang guru bisa melahirkan murid yang kelak membangun bangsa, maka betapa mulianya peran guru di hadapan Allah." Karomah dan ketawadhu’an beliau menjadi teladan sepanjang masa.
4. Sunan Ampel – Surabaya
Ziarah diteruskan ke makam Sunan Ampel di Surabaya. Di kompleks yang sarat sejarah itu, guru-guru belajar bagaimana Sunan Ampel menanamkan nilai Islam melalui budaya dan pendekatan sosial. "Sebagai guru, kita harus menjadi pemersatu di tengah masyarakat, bukan sekadar penyampai materi." ujar salah satu ustadz.
5. KH Abdul Hamid – Pasuruan
Ziarah ditutup di Pasuruan, ke makam KH Abdul Hamid, ulama yang dikenal sangat sederhana namun memiliki karomah tinggi. Para guru duduk berdiam diri cukup lama. Tak banyak kata, tapi penuh rasa. Seorang guru menulis dalam buku kecilnya: "Kadang, dakwah paling kuat bukan dari lisan, tapi dari keteladanan."
Ziarah dua hari itu bukan sekadar perjalanan ke tempat-tempat bersejarah. Tapi perjalanan hati—sebuah retreat ruhani yang menyadarkan kembali bahwa guru bukan sekadar profesi, tapi amanah besar.
Para guru pulang dengan hati yang penuh. Penuh keteladanan, harapan, dan tekad untuk meneruskan perjuangan para ulama, meski hanya lewat papan tulis dan lembar kerja, karena mereka percaya: “Satu huruf yang diajarkan dengan ikhlas, bisa menyalakan cahaya di hati generasi.”